Selasa, 21 Desember 2010

Hukum bisnis

PERLINDUNGAN KARYA CIPTA

DALAM JUAL PUTUS MENURUT UU NO. 19 TAHUN 2002

TENTANG HAK CIPTA

Logo_UNSRIB

OELH :

GITO

02081001083

STUDI HUKUM DAN BISNIS

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

2010

PERLINDUNGAN KARYA CIPTA

DALAM JUAL PUTUS MENURUT UU NO. 19 TAHUN 2002

TENTANG HAK CIPTA

PENDAHULUAN

Hak cipta sebagai hak kebendaan yang immateril selalu berhubungan dengan hak milik[1]. Konsekuensinya siapapun yang menjadi pemiliknya dapat dengan bebas sesuka hati melakukan tindakan hukum terhadap miliknya itu. Dialah diakui sebagai pencipta dari hasil karya ciptaanya dan secara tidak langsung melahirkan dua hak. Menurut Hutauruk ada dua unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam ketentuan Undang Undang Hak cipta Indonesia, yaitu :

  1. Hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain.
  2. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya ( mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya )[2].

Munculnya hak eksklusif bagi pencipta memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan pengalihan hak kebendaan itu dengan pemberian isin ( Lisensi ) kepada pihak yang ingin memanfaatkannya demi kepentinagan komersil. Artinya, bagi pihak ketiga ada alur regulasi yang harus dipatuhi dan ditaati. Hukum seyogyanya berfungsi sebagai penyeimbang tidak mengharapkan adanya misbruik van rechts ( pelanggaran yang menyebabkan orang lain di rampas haknya ).

Didalam reality in society sering terjadi pelanggaran pelangaran terhadap hak cipta. Padahal semua kita tahu bahwa pasca perubahan Undang undang hak cipta yang baru, ada sedikit perubahan mengenai indikasi pelanggaran dalam hak cipta dari delik aduan menjadi delik biasa. Semua orang yang melihat dan merasakan pelanggaran terhadap hak cipta dapat dengan langgsung melaporkannya kepada pihak yang berwenang tanpa harus melalului pengaduan terlebih dahulu dari pemegang hak cipta[3].

Namun bagaimana jadinya jika orientasi pencipta sudah tak searah lagi dengan Intellectual Property Rights. Dengan iming iming Royalti yang selangit mereka rela dengan pasrah mengalihkan hak kebendaanya itu tanpa melalui suatu perjanjian lisensi. Hanya dengan sekali bayar maka haknya secara ekonomis akan hilang selamanya. Inilah virus yang sedang menyebar dan menjangkiti mind set para insan seni di Indonesia sekarang. Contohnya, pada awal berdiri, grup band Gigi menjual putus hasil karya mereka berupa lagu-lagu dalam album pertama sampai ketiga, karena mereka ingin mendapatkan HARD CASH. Tapi sayangnya, banyak dari lagu lagu pertama mereka yang menjadi hits sampai hari ini, dan grup band Gigi terpaksa gigit jari karena tidak mendapatkan royalti[4]

PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan diatas, maka dapatlah ditarik suatu permasalahan, Apakah diperbolehkan system jual putus menurut Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002. Bagaimana akibat hukumnya ?

PEMBAHASAN

Jika kita amati sistem jual putus seolah olah bertolak belakang dengan keharusan seorang pencipta untuk mendaftarkan hasil ciptaanya. Padahal Dengan adanya pendaftaran hasil ciptaan ke direktoral jendral Hak kekayaan Intelektual akan melahirkan hak cipta. Sistem jual putus akan menimbulkan polemik antara pencipta asli dengan pihak lain yang mengklaim akan kepemilikan hasil ciptaan tersebut.

Menurut Prof. Kollewijn sebagaimana dikutip oleh Soekardono mengatakan bahwa ada dua jenis cara atau stelsel pendaftaran yaitu, stelsel konstitutif dan stelsel deklaratif.

Yang pertama, berarti bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan. Yang kedua ialah bahwa pendaftaran itu bukanlah menerbitkan hak,melainkan hanya memberikan dugaan atau sangkaan saja menurut undang undang bahwa orang orang yang hak ciptaannya terdaftar itu adalah si berhak sebenarnya sebagai pencipta dari hak yang didaftarkannya[5].

Dalam stelsel konstitutif letak titik berat ada tidaknya hak cipta tergantung pada pendaftarannya. Jika didaftarkan ( dengan sistem konstitutif ) hak cipta itu diakui keberadaanya secra de jure dan de facto sedangkan pada stelsel deklaratif titik beratnya diletakkan pada anggapan sebagai pencipta terhadap hak yang didaftarkan itu, sampai orang lain dapat membuktikan sebaliknya[6]. Hanya dengan royalty yang sekali bayar seorang pencipta harus merelakan hak ekonomisnya. Berdasarkan pasal 1320 Kitab Undang undang hukum perdata, jual putus merupakan suatu consensual overeenkomst antara seorang pencipta dengan pihak yang membeli hasil ciptaannya.

Artinya jual putus merupakan kesepakatan antara pencipta dengan pihak yang membeli hasil ciptaanya tanpa harus melalui zakelijke overeenkomst. Dengan demikian ciptaan tersebut merupakan suatu ciptaan yang tidak memiliki payung hukum. Sebab ciptaan tersebut tidak didaftarkan didaftar umum ciptaan, otomatis pemegang hak cipta tidak dapat membuat perjanjian lisensi kepada pihak lain. Namun secara yuridis formal tidak ada larangan kepada seorang pencipta untuk menjual hasil ciptaanya dengan sistem jual putus. Akan tetapi seorang pencipta tidak dapat menuntut gant rugi mengenai hak ekonomisnya jika terjadi pelanggaran terhadap hasil ciptaannya tersebut.

Di dalam pasal 24 UUHC seorang pencipta tetap memiliki hak moral atas hasil ciptaanya walaupun hak atas ciptaanya telah beralih. Pasal 24 ayat 2 menjelaskan bahwa Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia.

KESIMPULAN

Sistem jual putus merupakan suatu consensual overeenkomst antara pencipta dengan pihak yang ingin memanfaatkan ciptaan itu secara komersil. Didalam UUHC tidak ada larangan terhadap pencipta untuk melakukan sistem jual putus terhadap setiap hasil karyanya. Akan tetapi efek yang dominan hak ekonomisnya akan hilang selamanya. Namun tidak menghilangkan moral Rights dari hasil ciptaanya.

DAFTAR PUSTAKA

H.OK.Sadikin, Aspek Hak Kekayaan Intelektual ( Intellectual Property Rights ), PT.Rajagrfindo Persada, Jakarta, 2004.

M. Hutauruk, Peraturan Hak cipta Nasional, Jakarta, Erlangga, 1982.

Soekardono R., Hukum Dagang Indonesia I,Tanpa Tempat : Dian Rakyat, 1981.

Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002

www. Mas Henky.Blogspot.com ( diakses pada tanggal 1 desember 2010 ).



[1] H.OK.Sadikin, Aspek Hak Kekayaan Intelektual ( Intellectual Property Rights ), PT.Rajagrfindo Persada, Jakarta, 2004, Hlm. 111.

[2] M. Hutauruk, Peraturan Hak cipta Nasional, Jakarta, Erlangga, 1982, hlm. 60.

[3] Lihat Pasal 71 ayat 2, UU HAK CIPTA NO.19 TAHUN 2002.

[4] www. Mas Henky.Blogspot.com ( diakses pada tanggal 1 desember 2010 ).

[5] Soekardono R., Hukum Dagang Indonesia I,Tanpa Tempat : Dian Rakyat, 1981, hlm 151.

[6] H.OK.Sadikin,Op.Cit, hlm 89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar